Sebelum
1879, psikologi dianggap sebagai bagian dari filsafat atau ilmu faal.
Pada mulanya ahli-ahli filsafat dari zaman Yunani Kuno-lah yang mulai
memikirkan gejala-gejala kejiwaan. Saat itu belum ada
pembuktian-pembuktian secara empiris atau ilmiah. Mereka mencoba
menerangkan gejala-gejala kejiwaan melalui mitologi. Cara pendekatan
seperti itu disebut sebagai cara pendekatan yang naturalistik. Di antara
sarjana Yunani yang menggunakan pendekatan naturalistik adalah Thales
(624-548 SM) yang sering disebut sebagai Bapak Filsafat. Ia meyakini
bahwa jiwa dan hal-hal supernatural lainnya tidak ada karena sesuatu
yang ada harus dapat diterangkan dengan gejala alam (natural
phenomenon). Ia pun percaya bahwa segala sesuatu berasal dari air dan
karena jiwa tidak mungkin dari air maka jiwa dianggapnya tidak ada.
Tokoh lainnya adalah Anaximander (611-546 SM) yang mengatakan bahwa
segala sesuatu berasal dari sesuatu yang tidak tentu, sementara
Anaximenes (abad 6 SM) mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari
udara. Tokoh yang tak kalah pentingnya adalah Empedocles, Hippocrates,
dan Democritos. Empedocles (490-430 SM) mengatakan bahwa ada empat
elemen besar dalam alam semesta, yaitu bumi/tanah, udara, api, dan air.
Manusia terdiri dari tulang, otot, dan usus yang merupakan unsur dari
tanah; cairan tubuh merupakan unsur dari air; fungsi rasio dan mental
merupakan unsur dari api; sedangkan pendukung dari elemen-elemen atau
fungsi hidup adalah udara. Berdasarkan pada pandangan Empedochles,
Hipocrates (460-375 SM) yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Kedokteran,
menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat empat cairan tubuh yang
memiliki kesesuaian sifat dengan keempat elemen dasar tersebut.
Berdasarkan komposisi cairan yang ada dalam tubuh manusia tersebut maka
Hipocrates membagi manusia dalam empat golongan, yaitu: Sanguine, orang
yang mempunyai kelebihan (terlalu banyak ekses) darah dalam tubuhnya
mempunyai temperamen penggembira. Melancholic, terlalu banyak sumsum
hitam, bertemperamen pemurung. Choleric, terlalu banyak sumsum kuning,
bertemperamen semangat dan gesit. Plegmatic, terlalu banyak lendir dan
bertemperamen lamban.
Democritus
(460-370 SM) berpendapat bahwa seluruh realitas yang ada di dunia ini
terdiri dari partikel-partikel yang tidak dapat dibagi lagi yang oleh
Einstein kemudian diberi nama “atom”. Beratus-ratus tahun sesudah
Democritus prinsip tersebut masih diikuti oleh beberapa sarjana, antara
lain I.P. Pavlov dan J.B. Watson yang sama-sama berpendapat bahwa ‘atom’
dari jiwa adalah refleks-refleks. Tokoh-tokoh Yunani kuno tersebut di
atas pada dasarnya menganggap bahwa jiwa adalah satu dengan badan. Jiwa
dan badan berasal dari unsur-unsur yang sama dan tunduk pada hukum-hukum
yang sama (pandangan monoisme). Selain pandangan monoisme, tumbuh pula
pandangan dualisme, yaitu pandangan yang memisahkan jiwa dari badan,
jiwa tidak sama dengan badan, dan masing-masing tunduk pada
peraturan-peraturan atau hukum-hukum yang terpisah. Tokoh-tokoh terkenal
yang menganut pandangan dualisme antara lain: Socrates (469-399 SM),
Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM). Socrates berpandangan
bahwa pada setiap manusia terpendam jawaban mengenai berbagai persoalan
dalam dunia nyata. Masalahnya adalah kebanyakan manusia tidak
menyadarinya. Oleh karena itu, perlu ada orang lain—semacam bidan—yang
membantu melahirkan sang ‘Ide’ dari dalam kalbu manusia.
Socrates
mengembangkan metode tanya jawab untuk menggali jawaban-jawaban
terpendam mengenai berbagai persoalan. Dengan metode tanya jawab yang
disebut “Socratic Method” itu akan timbul pengertian yang disebut
“Maieutics” (menarik keluar seperti yang dilakukan oleh bidan).
Maieutics ini kemudian ditumbangkan oleh R. Rogers tahun 1943 menjadi
teknik dalam psikoterapi yang disebut “Non Directive Techniques”, suatu
teknik yang digunakan oleh psikolog atau psikoterapis untuk menggali
persoalan-persoalan dalam diri pasien sehingga ia menyadari sendiri
persoalan-persoalannya tanpa terlalu diarahkan oleh psikolog atau
psikoterapisnya. Socrates menekankan pentingnya pengertian tentang “diri
sendiri” bagi setiap manusia sehingga menurutnya adalah kewajiban
setiap orang untuk mengetahui dirinya sendiri terlebih dahulu kalau ia
ingin mengerti tentang hal-hal di luar dirinya. Semboyannya yang
terkenal adalah “belajar yang sesungguhnya pada manusia adalah belajar
tentang manusia. Sementara Plato, murid dan pengikut setia Socrates dan
dianggap sebagai penganut dualisme yang sebenar-benarnya, mengatakan
bahwa dunia kejiwaan berisi ide-ide yang berdiri sendiri terlepas dari
pengalaman hidup sehari-hari. Pada orang dewasa dan intelektual, mereka
dapat membedakan mana jiwa dan mana badan. Akan tetapi, pada anak-anak
jiwa masih bercampur dengan badan, belum bisa memisahkan Ide dari
benda-benda kongkrit. Jiwa yang berisi Ide-Ide ini diberi nama “Psyche”.
Selain itu, Plato juga meyakini bahwa tiap-tiap orang telah ditetapkan
status dan kedudukannya di masyarakat sejak lahir apakah ia seorang
filsuf, prajurit, atau pekerja.
Ia
percaya bahwa tiap orang dilahirkan dengan kekhususan tersendiri, tidak
sama antara satu sama lainnya. Dengan demikian, selain dianggap sebagai
penganut paham Determinisme atau Nativisme, ia pun dianggap sebagai
tokoh pemula dari paham “individual differences.” Dalam perkembangan
psikologi selanjutnya, paham individual differences ini membawa para
sarjana ke arah penemuan alat-alat pemeriksaan psikologi (psikotes).
Kalau Plato dianggap sebagai seorang rasionalis yang percaya bahwa
segala sesuatu berasal dari ide-ide yang dihasilkan rasio maka
Aristoteles (385-322 SM), murid Plato, berkeyakinan bahwa segala sesuatu
yang berbentuk kejiwaan (form) harus menempati sesuatu wujud tertentu
(matter). Wujud ini pada hakikatnya merupakan pernyataan atau ekspresi
dari jiwa. Tuhanlah satu-satunya yang tanpa wujud, hanya form saja.
Aristoteles sering disebut sebagai Bapak Psikologi Empiris karena
menurutnya segala sesuatu harus bertitik tolak dari realita, yaitu
matter. Matter-lah sumber utama pengatahuan.
Pandangan
dan teori-teori Aristoteles tentang Psikologi dapat dilihat dalam
bukunya yang terkenal De Anima, yang sesungguhnya merupakan buku tentang
ilmu hewan komparatif dan biologi. Dalam buku itu ia mengatakan bahwa
setiap benda di dunia ini mempunyai dorongan untuk tumbuh dan menjadi
sesuatu sesuai dengan tujuan yang sudah terkandung dalam benda itu
sendiri. Aristoteles selanjutnya membedakan antara hule dan morphe. Hule
(Noes Photeticos) adalah “yang terbentuk”. sedangkan Morphe (Noes
Poeticos) adalah “yang membentuk”. Benda dalam alam tidak tumbuh dan
berkembang begitu saja, tetapi menjadi atau diperkembangkan menjadi
sesuatu. Sebelum benda itu terwujud benda itu berupa kemungkinan.
Selanjutnya Aristoteles membedakan tiga macam form, yaitu: Plant, yang
mengontrol fungsi-fungsi vegetatif; Animal, dapat dilihat dalam
fungsi-fungsi seperti: mengingat, mengharap, dan persepsi; Rasional,
yang memungkinkan manusia malakukan penalaran (reasoning) dan membentuk
konsp-konsep. Khusus pada manusia, dorongan untuk tumbuh ini berbentuk
dorongan untuk merealisasikan diri (self realization) yang disebut
entelechi.
Menurut Aristoteles fungsi jiwa dibagi dua, yaitu :
- kemampuan untuk mengenal
- kemampuan berkehendak
Pandangan
ini dikenal sebagai “dichotomi”. Berabad-abad setelah zaman Yunani
Kuno, Psikologi masih merupakan bagian dari Filsafat. Pada masa
Renaissance, di Francis muncul Rene Decartes (1596-1650) yang terkenal
dengan teori tentang “kesadaran”, sementara di Inggris muncul
tokoh-tokoh seperti John Locke (1623-1704), George Berkeley (1685-1753),
James Mill (1773-1836), dan anaknya John Stuart Mill (1806-1873), yang
semuanya itu dikenal sebagai tokoh-tokoh aliran Asosianisme. Dalam
perkembangan Psikologi selanjutnya, peran sejumlah sarjana ilmu Faal
yang juga menaruh minat terhadap gejala-gejala kejiwaan tidak dapat
diabaikan. Tokohnya antara lain: C. Bell (1774-1842), F. Magendie
(1785-1855), J.P. Muller (1801-1858), P. Broca (1824-1880), dan
sebagainya. Nama seorang sarjana Rusia, I.P. Pavlov (1849-1936),
tampaknya perlu dicatat secara khusus karena dari teori-teorinya tentang
refleks kemudian berkembang aliran Behaviorisme, yaitu aliran dalam
psikologi yang hanya mau mengakui tingkah laku yang nyata sebagai objek
studinya dan menolak anggapan sarjana lain yang mempelajari juga tingkah
laku yang tidak tampak dari luar. Selain itu, peranan seorang dokter
berdarah campuran Inggris-Skotlandia bernama William McDaugall
(1871-1938) perlu pula dikemukakan. Ia juga telah memberi inspirasi
kepada aliran Behaviorisme di Amerika dengan teori-teorinya yang dikenal
dengan nama “Purposive Psychology”. Sementara para sarjana Filasafat
maupun ilmu Faal berusaha untuk menerangkan gejala-gejala kejiwaan
secara ilmiah murni, muncul pula orang-orang yang secara spekulatif
mencoba untuk menerangkan gejala-gejala kejiwaan dari segi lain.
Diantara mereka adalah F.J. Gall (1785-1828) yang mengemukakan bahwa
jiwa manusia dapat diketahui dengan cara meraba tengkorak kepala orang
tersebut.
Teori
Gall dikembangkan dari pandangan Psikologi Fakultas (Faculty
Psychology) yang dikemukakan seorang tokoh gereja bernama St. Agustine
(354-430). Menurut Agustine, dengan mengeksplorasi kesadaran melalui
metode “introspeksi diri”, dalam jiwa terdapat bagian-bagian atau
fakultas (faculties). Fakultas tersebut antara lain: ingatan, imajinasi,
indera, kemauan, dan sebagainya. Menurut Gall, karena setiap fakultas
kejiwaan dicerminkan pada salah satu bagian tertentu di tengkorak kepala
maka dengan mengetahui bagian-bagian tengkorak mana yang menonjol kita
akan mengetahui fakultas-fakultas kejiwaan mana yang menonjol pada orang
tertentu sehingga kita dapat mengetahui pula keadaan jiwanya. Teori
dari Gall tersebut dikenal dengan Phrenologi. Teori yang seolah-olah
ilmiah ini pada dasarnya hanya bersifat ilmiah semu (pseudo science).
Metote lainnya yang juga bersifat ilmiah semu antara lain: Phiognomi
(Ilmu Wajah/Raut Muka), Palmistri (Ilmu Rajah Tangan), Astrologi (Ilmu
Perbintangan), Numerologi (Ilmu Angka-angka), dan sebagainya.
· Psikologi
Sebagai Ilmu yang Berdiri Sendiri Pada akhir abad ke-19 terjadilah
babak baru dalam sejarah Psikologi. Pada tahun 1879, Wilhem Wundt
(Jerman, 1832-1920) mendirikan laboratorium Psikologi pertama di Leipzig
yang menandai titik awal Psikologi sebagai suatu ilmu yang berdiri
sendiri. Sebagai tokoh Psikologi Eksperimental, Wundt memperkenalkan
metode Introspeksi yang digunakan dalam eksperimen-eksperimennya. Ia
dikenal sebagai tokoh penganut Strukturalisme karena ia mengemukakan
suatu teori yang menguraikan struktur dari jiwa. Wundt percaya bahwa
jiwa terdiri dari elemen-elemen (Elementisme) dan ada mekanisme
terpenting dalam jiwa yang menghubungkan elemen-elemen kejiwaan satu
sama lainnya sehingga membentuk suatu struktur kejiwaan yang utuh yang
disebut asosiasi. Oleh karena itu, Wundt juga dianggap sebagai tokoh
Asosianisme. Edward Bradford Titchener (1867-1927) mencoba
menyebarluaskan ajaran-ajaran Wundt ke Amerika. Akan tetapi, orang
Amerika yang terkenal praktis dan pragmatis kurang suka pada teori Wundt
yang dianggap terlalu abstrak dan kurang dapat diterapkan secara
langsung dalam kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar